Senin, 03 September 2012

Hidup Kita Nasib Atau Takdir


Sangat menarik untuk melihat beberapa dari kita begitu yakin dengan 'nasib' buruk kita, atau 'takdir' kita untuk tidak sukses atau tidak berhasil di bidang kita. Apalagi seolah kalau kita melakukan sesuatu untuk lebih berhasil atau lebih sukses dari kondisi kita sekarang, berarti kita 'melawan' takdir atau nasib tadi. Lebih menarik lagi, beberapa kita merasa tidak menginginkan hal-hal lebih baik untuk kita, karena menurut kita 'takdir' kita adalah apa yang sedang kita hidupi dan nikmati sekarang. Bahkan, walau sejarah sudah membuktikan berkali-kali betapa orang-orang tertentu melewati batas normal dan menghasilkan yang luar biasa sekalipun, kita hanya sampai batas kagum, dan bergumam, "Itu memang sudah 'takdir' mereka!"

Oke, mari kita lihat beberapa kemungkinan.
 

Satu, kita sudah berusaha berkali-kali, tapi tidak melihat dan merasakan perubahan. Generalisasi mudah: sudah takdir saya untuk 'tetap' begini.
 

Dua, kita sudah menjalankan beberapa inisiatif, tapi tidak melihat dan merasakan perubahan. Generalisasi mudah: saya sudah coba 'semua' cara tapi keadaan tidak berubah, saya sudah ditakdirkan begini.
 

Tiga, kita sudah melihat beberapa orang dalam jangkauan peta realita kita yang mirip status atau latar belakang dengan kita, yang tidak berhasil atau ber-'nasib' buruk. Generalisasi sederhana: mereka juga tidak berhasil, saya tidak lebih baik dari mereka!
 

Empat, kita melihat atau mendengarkan betapa di luar sana persaingan dan kompetisi di konteks yang kita geluti semakin sempit dan terlalu banyak orang yang bermain di lapangan yang sama. Generalisasi mudah: saya tidak lebih baik dari mereka yang bersaing, mana mungkin ada kesempatan untuk saya?
 

Lima, ...........Anda bisa mengisi sendiri dengan asumsi Anda mengenai kemungkinan lain.
Nah, yang menarik, dari hal-hal di atas, walaupun menyangkut asumsi 'nasib' atau 'takdir', ternyata bentuknya adalah GENERALISASI dari apa yang dilihat, didengar, dialami. Tentu saja, tidak ada satupun kita yang benar-benar mendapatkan 'bisikan' dari Tuhan bahwa 'nasib' atau 'takdir' kita sudah demikian? Tentu saja tidak satupun dari kita 'berbincang-bincang' dengan Tuhan lalu mendapatkan penjelasan langsung dari Tuhan tentang apa yang menjadi 'nasib' kita, bukan? Kita hanya menyimpulkan saja! Kita hanya membuat kesimpulan berdasarkan jangkauan penginderaan kita saja, bahwa itu 'nasib' atau 'takdir' kita.
Lalu, kalau begitu, darimana kita tahu 'nasib' kita sebenarnya? Bagaimana kita tahu 'takdir' kita? Kalau memang kita percaya bahwa setiap kita hidup dalam garis yang sudah ditetapkan oleh Tuhan, apakah ada cara untuk mengetahuinya?
Apakah dari peramal nasib? Apakah dari guratan tangan? Apakah dari tanggal lahir? Apakah dari zodiac? Shio? Atau dari setiap langkah kita? Atau dari setiap kejadian yang kita alami?
Atau, apakah kita boleh berasumsi hanya dari pengalaman dan perasaan kita saja? Dan sementara kita mau berasumsi, apakah kita diam, menunggu perkembangan 'nasib', atau kita boleh tetap melakukan sesuatu untuk mencari 'nasib' kita yang sebenarnya? Sampai di mana kita berhenti dan MEMUTUSKAN bahwa itu 'nasib' kita? Bagaimana kita tahu?
Saya pernah tuliskan ini mengenai 'batasan' kita; bahwa BETUL SEKALI manusia punya keterbatasan. BETUL SEKALI manusia punya batasan. Dan dalam terminologi lain, batasan ini bisa serupa dengan asumsi 'nasib' atau 'takdir'. Dan memang, sangat mungkin manusia punya batasan masing-masing atau 'nasib' atau 'takdir' masing-masing. Tapi tidak satupun dari kita yang tahu batasan tersebut. Kita tidak tahu secara pasti batasan kita atau 'nasib' atau 'takdir' kita masing-masing. Kita hanya berasumsi, kita hanya berpersepsi mengenai batasan tersebut, sebatas penginderaan kita saja. Sebatas penglihatan, pendengaran, pengalaman kita saja. Dan, kalau memang kita tidak tahu secara pasti batasan ini, bukankah menarik mencari tahu dengan terus mendaki, naik, berkembang, bertambah baik, pintar, mampu, dan seterusnya? Dan kadang malah mengejutkan diri kita sendiri dengan apa yang bisa kita capai?
Beberapa kita akhirnya berhenti melakukan apapun dan membuat kesimpulan atau asumsi final tentang 'nasib' kita, sementara beberapa tidak pernah berhenti 'mencari' dan terus melakukan apapun. Persamaannya: sama-sama tahu bahwa ada 'batasan' atau ada 'takdir' untuk setiap manusia. Perbedaannya: satu berhenti mencari, satu terus mencari. Ada persamaan satu lagi: di titik KEPUTUSAN tersebut, keduanya sama-sama MEMUTUSKAN mengenai 'batasan'-nya. Yang berhenti MEMUTUSKAN bahwa itulah batasan atau 'nasib' atau 'takdir'-nya, sedangkan yang terus mendaki MEMUTUSKAN bukan itu batasannya atau 'nasib'-nya tidak berhenti di situ.
Anda yang mana? Sampai batas mana Anda bersedia terus berjalan? Sampai batas mana Anda bersedia memberikan segalanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah memberi komentar